Pages

Kamis, 22 Mei 2014

STUDI KASUS MENGENAI PERSPEKTIF INTEGRATIF (TERAPI ELEKTRIK)



CONTOH KASUS 1
Mr X adalah seorang pria lajang berusia 35 tahun yang telah mengikuti sesi psikoterapi karena menderita gangguan distimikselama beberapa tahun. Setelah dilakukan eksplorasi dan interpretasi secara sadar, ditemukan faktor penyebab depresi. Ternyata Mr. X tidak pernah bisa menerima perpisahannya dengan orang tuanya yang terjadi ketika dirinya berusia sekitar 20 tahun. Pada saat itu, ia telah meninggalkan karir yang menguntungkan di industri keuangan untuk menjadi guru sekolah tinggi.Keputusan ini sangat memuaskan baginya secara emosional dan interpersonal, tetapi bagi orang tuanya hal ini merupakan kekecewaan besar dan pengkhianatan. Setelah mencoba untuk memperbaiki hubungandan hanya menerima terus kemarahan dan kritik dari orang tuanya, Mr X akhirnya berhenti bertemu dan berbicara kepada mereka.Sejauh klien sadar, ia telah melupakan sakit hati nya, kemarahan, dan kerinduan untuk kontak dengan keluarganya. Namun, seperti mimpi-mimpinya, asosiasi bebas, dan reaksi terhadap eksplorasi terapis, menjadi jelas bahwa ia terjebak dalam proses berkabung terputus dengan orang tuanya. Dalam keadaan ini ia dilanda kemarahan pada ibu dan ayahnya, rasa bersalah dan rasa malu karena telah menyakiti mereka, serta harapan yang tidak realistis bahwa mereka akan datang suatu hari untuk mencintai dan menerima dia dengan pilihannya.Semua emosi tersebut disimpan di luar kesadaran melalui proses defensif aktif, di antaranya adalah keputusan yang tanpa disadari mengubah kemarahannya melawan dirinya sendiri. Hasil dari serangan-serangan tak sadar pada dirinya sendiri menjadikan dirinya merasa sedih, lesu, dan terus-menerus diganggu oleh pikiran-kritik dan bayangan diri. Interpretasi proses tak sadar dan emosional ini membantu untuk mendapatkan jarak dan bantuan dari sikap menyerang terhadap diri sendiri, tapi dia belum bisa menyetujui bahwa pikiran adalah inti dari permasalahan yang membuatnya depresi.
Pada saat berada di titik ini, restrukturisasi kognitif dimulai dengan dua tujuan: pertama, untuk meringankan penderitaan klien, dan kedua, untuk mengeksternalisasi kemarahan klien yang diakibatkan oleh kehadiran pikiran-pikiran mengenai kemarahannya terhadap orang tuanya. Penggunaan integrasi kognitif ini merupakan ciri khas dari integrasi asimilatif, karena melibatkan penggunaan teknik dari terapi kognitif. Dengan cara ini Mr. X sukses melawan pemikiran diri yang kritis, gejala depresinya pun meningkat secara signifikan. Ia mulai memiliki waktu yang lebih lama di mana harga dirinya dipertahankan. Yang terpenting, ia mulai menyadari bahwa stimulus internal untuk kritik dirinya sering secara samar-samar dirasakan ketika mengingat orang tuanya, dan ia mulai untuk sepenuhnya merasakan kemarahan atas penolakan mereka yang masih membara dalam dirinya. Tampaknya bahwa integrasi restrukturisasi kognitif pada kenyataannya telah mencapai tujuan asimilatif yang membuat klienlebih mudah menyadari dan mengakui konflik emosional alam bawah sadarnya.Mr X memperoleh lebih banyak akses untuk menemukan alasan atas kemarahan dan perasaan atas penolakan yang dialaminya, rasa bersalah dan rasa kegagalan pun menjadi sangat berkurang. Namun, ia juga mengalami peningkatankerinduan terhadap orang tuanya dalamhal cinta dan persetujuan mereka. Perasaan ini membimbingnya untuk menghubungi orang tuanya, tapi dia menolak dengan cara yang dingin dan kejam ketika ia diminta untuk kembali ke pekerjaan lamanya. Pengalaman ini tentu saja sepenuhnya mengecewakan bagi klien, tetapi membantunya untuk memulihkan serangkaian kenangan dari masa kecilnya yang semuanya berkaitan dengan ketidakmampuannya untuk memenuhi tuntutan orang tuanya untuk sukses di bagian akademik, sosial, dan atletik. Kenangan ini bergema dalam dirinya saat ini dan menumpuk dalam pikiran serta emosinya. Kenangan ini dieksplorasi selama beberapa minggu pertama sesi terapi tanpa banyak kemajuan, tujuannya agar dapat menghubungkan dirinya dengan perasaan bahwa dirinya dicintai.
Mengingat bahwa dirinya sudah sangat mengenal teknik terapi kognitif yang kurang berhasil mengatasi masalahnya, Mr. X meminta terapis untuk menggunakan cara lain dalam mengatasi permasalahannya. Terapis kemudian menyarankan untuk menggunakan teknik kursi kosong. Metode ini berasal dari terapi gestalt dan melibatkan pembicaraan dengan imajinasi seseorang yaitu klien yang sedang membayangkan/berimajinasi dan duduk di kursi terapi. Teknik ini telah ditemukan secara empiris menjadi sangat efektif dalam membantu orang dengan ‘urusan yang belum selesai’ dalam kasus ini, yaitu perasaan berkabung atas putusnya hubungan klien dengan orang tuanya sertaharapannya terhadap persetujuan orangtua dan cinta yang tampaknya tidak mungkin untuk didapatkan. Penyesuaian preskriptif dari teknik yang efektif dengan masalah tertentu ini adalah eklektisisme teknis, tetapi dalam kasus ini juga memiliki tujuan yang asimilatif. Terapis berharap bahwa faktor-faktor bawah sadar klien dapat lebih mudah ditelusuri dengan mendapatkan gambaran interaksi antara klien dengan orang tuanya dalam sesi tersebut. Dengan cara ini, Mr. X seperti berbicara dengan tokoh-tokoh imajiner dan mampu memenuhi kebutuhannya akan cinta dan persetujuan dari orang tuanya, dan menemukan bahwa katarsis ini membuatnya sedih tapi terhibur pada saat yang sama, dengan rasa berkurangnya terhadap kebutuhan yang selama ini diharapkannya. Dari gambaran tersebut, klien menyadari bahwa dia selalu menyalahkan diri sendiri atas sikap dan kritik orang tuanya.  Dialog dengan ‘mereka’ membantunya untuk menjadi lebihmenyadari keterbatasan emosional intrinsik orang tuanya, dan untukmemisahkan rasa berharga dan perasaan dicintai dariketidakmampuan mereka untuk mencintai. Sekali lagi, teknik integratif telah sukses pada dua tingkat, dalam hal ini pada tingkat pengalaman metode yang telah dirancang, dan pada tingkat psikodinamik untuk hal yang telah terintegrasi dalam mode asimilatif.
Setelah sekitar 11 bulan terapi, Mr X telah membebaskan diri dari suasana hati dysphoric, tetapi sudah mulai mengalami serangan sering kecemasan yang berbatasan dengan panik. Hal ini memperjelas bahwa ia juga menderita kecemasan sosial yang signifikan yang telah tersamarkan dan dihindari oleh depresinya. Upaya untuk mengeksplorasi gejala kecemasan Mr X, dan untuk mengidentifikasi pemicu situasional atau makna psikodinamik gejala-gejala tersebut, adalah sia-sia. Mr X merasa tak berdaya dan tidak kompeten selama diskusi ini, dan terapis akhirnya mulai mempertimbangkan interaksi ini sebagai pengulangan transferential beberapa hubungan masa lalu di mana kesulitan Mr X itu telah membuat kurangnya perhatian atau kompetensi pada bagian penting lainnya. Terapis kemudian menyarankan perubahan taktik: pengenalan teknik kognitif-perilaku yang ditujukan untuk relaksasi, manajemen kecemasan, dan menenangkan diri.Teknik ini telah digunakan untuk beberapa tujuan simultan. Tujuan pertama adalah untuk mengatasi keadaan klinis dan untuk memungkinkan Mr X untuk menguasai kecemasan dan untuk mendapatkan tingkat baru kenyamanan ketika menghadapi kecemasan. Kedua, intervensi aktif adalah cara untuk memindahkan terapi melewati jalan buntu ini, dan dengan demikian dapat mengatasi resistensi yang terlibat dalam gejala kecemasan klien tanpa mengatasi resistensi tersebut secara langsung. Upaya untuk menggali dan menafsirkan termotivasi secara tidak sadar, sifat resistif kecemasan klienternyata hanya membimbingnya untuk merasa dikritik, tidak efektif, dan ‘bodoh’serta menimbulkan persepsi bahwa terapis bersikap memusuhi dan merendahkan. Akhirnya, terapis berharap bahwa dengan aktif membantu Mr X untuk mengurangi kecemasannya, klien akan memiliki pengalaman(korektif emosional)  langsung dimana klien dihargai dan dirawat yang akan menerangi dan memperbaiki perlakuan negatif dalam hubungan antaraklien dan terapis. Dengan begitu Mr X menjadi lebih mampu mengelola kecemasannya, ia juga menjadi lebih sadar akan pencetus interpersonal/awal mula gejala ini, dan juga lebih mampu mengeksplorasi makna penghindaran. Yang paling penting, klien dan terapis mampu untuk membangun kembali aliansi kerja yang positif dan untuk mengeksplorasi hubungan masa lalu yang bermanfaat, terutama dengan ayah Mr X, di mana rasa sakit dan ketakutan Mr X itu telah dipenuhi oleh ketidakpedulian dan ejekan. Saat ia menyatakan, “Dengan menunjukkan bahwa Anda peduli bagaimana perasaan saya dan bahwa Anda bersedia untuk membantu dengan cara menerima, Anda membuktikan betapa berbedanya Anda dari ayah saya. Hal ini memungkinkan saya untuk melihat dan merasakan betapa sakit hati dan marah padanya ketika ia menertawakan saya saat saya takut, dan bagaimana saya menyangka saya mendapatkannya dari orang lain sekarang.”
Contoh kasus ini menunjukkan cara-cara di mana intervensi dari sistem terapi lain dapat berasimilasi ke dalam terapi psikodinamik, mengubah makna dan dampak dari intervensi itu, dan berakibat pada perubahan psikodinamik dan interpersonal yang tidak dapat diantisipasi (kognitif-perilaku dan pengalaman) sistem. Intervensi aktif menyebabkan pengurangan gejala nyeri dan perolehan keterampilan baru, tetapi juga menyebabkan perubahan radikal dalam pertahanan klien, situasi transferensi, dan pemahamannya tentang psikodinamikanya. Yang paling penting, penyediaan/intervensi aktif membantu mengarahkan pada pembentukan cara-cara baru dan penting untuk memahami dirinya sendiri dan orang-orang penting dalam hidupnya, yang menjadi dasar untuk harapan, rasa harga diri, dan kebebasan baru, kesedihan,  serta cara hidup.
ANALISIS
Kasus tersebut menggunakan teknik perspektif integratif dimana penyelesaian masalah klien menggunakan penggabungan beberapa terapi. Terapi pertama yang digunakan adalah terapi kognitif yang bertujuan untuk menemukan dan menelusuri penyebab dari permasalahan yang dihadapinya dan hal-hal yang tersimpan dalam alam bawah sadarnya. Terapi ini berhasil membuat klien menyadari konflik emosional yang dialaminya dan menurunkan rasa penyesalan serta rasa gagal klien. Namun, hal ini meningkatkan kerinduan klien akan kasih sayang orang tuanya. Kemudian untuk mengatasi hal ini, terapis menggunakan terapi kursi kosong yang merupakan teknik gestalt. Terapi ini berhasil membuat klien menggambarkan bagaimana pola interaksinya dengan orang tuanya, dan bagaimana ia tidak dapat memenuhi tuntutan orang tuanya sejak dulu. Terapi ini juga berhasil membuat klien memenuhi kebutuhannya akan kasih sayang orang tua yang selama ini diharapkannya, melalui proses interaksi dengan tokoh-tokoh imajiner dalam bayangannya. Setelah 11 bulan menjalani terapi, klien berhasil melepaskan diri dari perasaan disporik, namun mulai timbul panik dan kecemasan. Terapis kemudian menyarankan klien untuk menjalani terapi perilaku-kognitif. Hal ini bertujuan untuk mengatasi keadaan klinis dan untuk memungkinkan klien untuk menguasai kecemasan. Awalnya teknik ini menimbulkan perasaan-perasaan negatif klien dan hubungan dengan terapis pun menjadi negatif. Namun, terapis membimbing klien dengan cara menghargai dan merawatnya secara langsung untuk memperbaiki hubungan negatif tersebut. Hal ini akhirnya berhasil memunculkan kembali hubungan positif klien dan terapis, serta membuat klien yakin bahwa rasa takut dan kecemasannya tidak selalu membuat orang-orang di sekitarnya menghindar dan mengejeknya, seperti yang pernah dilakukan ayahnya.

CONTOH KASUS 2
Mila, sebut saja begitu. Seorang mahasiswa tingkat tiga di salah satu Universitas ternama di kota Makassar. Mila dalam keseharian dikenal sebagai seorang mahasiswa yang ramah oleh teman-temannya. Tidak ada yang salah dalam perilakunya, namun lain halnya bagi teman-teman dekat Mila. Mereka merasa bahwa Mila memiliki kecemasan yang berlebihan, sehingga setiap saat harus ditemani oleh temannya. Terutama dalam hal-hal yang membutuhkan pilihan. Bagi teman-temannya, perilaku Mila yang terlalu bergantung pada orang lain cukup mengganggu, mereka mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika tidak ada mereka disamping Mila. Setelah melakukan wawancara langsung dengan Mila yang dibungkus dalam bentuk curhat-curhatan, Mila mengaku bahwa ia menjadi seperti itu karena Mila yang juga merupakan anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di keluarganya sewaktu kecil segalanya diuruskan oleh orang tua dan kakak-kakaknya. Mila mengatakan bahwa pernah sekali ia bermain dengan ayahnya, ketika sang ayah tidak melihat Mila yang tengah bersembunyi dibalik tembok dan tiba-tiba mengagetkan ayahnya. Namun, ternyata ayahnya langsung jatuh dan kejang-kejang sambil memegang dadanya, dan setelah dirujuk ke dokter diketahui bahwa ayahnya terkena penyakit jantung. Mila sangat sedih dan ketakutan dan mengaku bahwa saat itulah pertama kalinya ia dimarahi habis-habisan oleh kakak-kakaknya.
ANALISIS

  1. Metode Penanganan Humanistik: Asosiasi bebas (free association), dalam asosiasi bebas, klien mengungkapkan apapun yangada pada pikirannya. Asosiasi bebas merupakan proses pengungkapan tanpasensor dari pikiran-pikiran segera setalah pikiran masuk kebenak kita. Klien diminta untuk tidak menyensor atau menyaring pikiran, tetapi membiarkan pikiran merekamengembara secara bebas dari satu pikiran ke pikiran lain. Klien diminta untuk mengungkapkan apapun yangada pada pikirannya.Pada kasus diatas subjek diminta untuk menceritakan apapun yang ada dipikirannya. Dengan demikian diasumsikan klien akan melepaskan hubungan yang penuh konflik dengan orangtuanyamelalui cara mentranfer perasaan mengenai orangtuanya kepada klinisi. Ketikaperasaan konflik mengenai orang tua terpacu melalui transference, klinisi dapatmembantu klien untuk proses Working trought. Pada proses ini, klien dibantuuntuk mencapai suatu resoles yang lebih sehat bagi masalahnya dibandingkandengan apa yang telah terjadi pada masa kanak-kanak.Ketika pelaksaan terapi, sering terjadi (resistance) klien atau menarik diri.Dalam hal ini tugas seorang klinisadalah membantu klien untuk mengatasi hal tersebut. Selanjutnya klinisi melakukan interpretasi untuk membantu klien. 
  2. Metode Penanganan Humanistik: Terapi humanistik dan eksperimental kontemporer, terapis humanistik dan eksperimental kontemporer, mementingkan pentingnya memasuki dunia dan pengalaman klien. Mencobamenangkap hal yang paling penting bagi klien pada saat itu. Dalam hal inibiasanya menggunakan teknik wawancara motivasi /motivation interview-MIyaitu suatu cara terapis yang berpusat pada klien untuk mencapai perubahanperilaku dengan cara membantu klien mengeksplorasi dan mengatasi ketidakseimbangan.
    Klinisi melakukan treatmen dengan klien melalui proses wawancara yang dapat membuat klien rileks. Melalui proses ini klinisi dapat memasuki dunia dan pengalaman klien sehingga klinisi dapat memotivasi klien agar secara perlahan klien dapat menyadari dan menginginkan serta melakukan perubahan perilaku.
  3. Metode Penanganan Gestal: Terapi kelompok, klien dalam terapi kelompok biasanya merasakan kelegaan dan harapan karenamenyadari bahwa masalah mereka tidaklah unik. Terapi kelompok memberi mereka dukungan situasiyang kondusif untuk diskusi yang terus terang mengenai dorongan dan metodekontrak diri. Selain adanya keinginan dari klien untuk melakukan perubahan, dukungan dari luar juga mempengaruhi. Didalam terapi kelompok klien diberikan dukungan dari orang-orang yang ada disekitarnya sehingga dapat membantu terjadinya perubahan perilaku pada klien.


CONTOH KASUS 3
S adalah anak yang terdiagnosa mengalami keterlambatan bicara disebabkan kurang stimulasi usia dini serta kesalahan pola asuh. Saat ini S duduk di TK-A sebuah TK tri-lingual di Sidoarjo. Pada masa awal kehidupannya, subjek sering berganti pengasuh dengan pendekatan pengasuhan yang berbeda, pola asuh yang berbeda, serta penggunaan bahasa yang berbeda pula. Para pengasuh tersebut merupakan calon TKW magang yang bekerja di perusahaan orang tua subjek. Para calon TKW tersebut dituntut menggunakan berbagai macam bahasa yang telah diajarkan untuk persiapan diberangkatkan ke luar negeri. Hal ini menyebabkan bahasa-bahasa tersebut bercampur dengan bahasa ibu yang dimiliki subjek.
Selain itu ayah subjek sangat protektif dan tidak pernah membiarkan subjek bermain di lingkungan luar rumah. Padahal seharusnya subjek bisa berlatih berbicara dengan melihat interaksi yang terjadi di sekelilingnya. Ketika di rumah pun subjek hanya memiliki sedikit dorongan untuk berbicara. Orang tuanya pun mengaku tidak telaten dalam melatih subjek berbicara. Jika menginginkan sesuatu, subjek terbiasa berteriak dan semua keinginannya langsung terpenuhi. Hal ini membuat subjek semakin terbiasa untuk tidak berbicara. Kondisi lingkungan pun tidak mendukung subjek untuk berlatih berbicara.
ANALISIS KASUS
Rancangan terapi yang diberikan kepada subjek adalah terapi keluarga secara berkala. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan pemahaman kepada keluarga subjek untuk menyadari adanya kesalahan dalam pola asuh yang membuat subjek terlambat bicara. Selain itu teknik terapi keluarga juga bertujuan agar keluarga dapat membantu subjek dalam perubahan perilakunya, seperti memberikan banyak kesempatan pada subjek untuk bisa berbicara dan mengungkapan keinginannya. Keluarga juga diharapkan dapat memberikan stimulus-stimulus pada subjek agar mau berbicara sedikit demi sedikit. Di samping terapi keluarga, digunakan pula terapi perilaku. Terapi ini dilakukan dengan cara memberikan pelatihan pada subjek untuk dapat melafalkan kata-kata dengan jelas agar dapat dipahami orang lain. Selain itu, pemberdayaan lingkungan juga penting dilakukan. Hal ini dilakukan dengan cara memberi pemahaman kepada para pengasuh subjek dan orang-orang di sekitar subjek (selain keluarga), mengenai keterlambatan bicara dan cara pengasuhan yang benar bagi anak yang terlambat bicara. Kombinasi terapi tersebut diharapkan dapat memberikan perubahan perilaku yang positif bagi subjek.

Sumber:

Jerry, G. 2002. Encyclopedia of Psychotherapy: Integrative Approaches of Psychotherapy            USA: Elsevier Science.

Rakhmawati, dkk. 2012. Metode Penanganan II (Psikoanalisa,Humanistic,Gestalt). Jakarta:          Skripsi. Tidak diterbitkan. 
Habib & Hidayati. 2012. Intervensi Psikologis pada Pendidikan Anak dengan Keterlambatan       Bicara.Jurnal Madrasah, 5, 1, 86-91.
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar